Membawa Ransel Bukan Berarti Backpacker lho !!




































Jika ditilik dari kamus mini Oxford, Backpack atau Rucksack adalah a bag carried on the back, used by walkers. Menurut pengartian saya pribadi berarti : tas ransel. Jadi definisi backpacker secara harfiah adalah orang yang membawa tas yang digendong. Namun apakah kalau saya trip bawa tas ransel dan tinggal di hotel bintang lima bisa disebut backpacker? Ya enggak lah. Jenis tas yang dibawa tidak sekaligus menunjukkan jenis perjalanan yang kita lakukan.

Namun kadang kita sering melupakan semangat dan filosofi dari backpacking. Seringkali saya ber-backpacking hanya penampilan. Memanggul tas segede dosa seperti hendak camping selama setahun (sehingga berbagai barang dibawa) dan menunjukkan latar belakang foto tempat-tempat keren di penjuru negeri, memang keren.

Tapi apakah kita sudah menjadi seorang backpacker?

Aktivitas backpacking seringkali dijadikan rujukan bagi para pejalan yang ingin melakukan suatu perjalanan dengan biaya rendah dan biasanya memakan waktu yang panjang. Salah kaprah pun kerap terjadi. Semangat dan filosofinya pun tereliminasi.

Backpacking tidak semudah itu dirumuskan, meski salah kaprah tersebut mengandung beberapa unsurnya.

Beberapa unsur-unsur penting yang bisa saya ekstrak dari berbagai definisi backpacking adalah biaya rendah, waktu yang panjang, kemandirian, perhitungan, dan interaksi dengan kehidupan setempat.

Biaya merupakan unsur pertama. Bepergian dengan biaya serendah mungkin, merupakan salah satu ciri backpacking. Implikasinya, para pejalan sering menggunakan sarana transportasi umum karena perhitungan biaya tadi. Namun ndak menutup kemungkinan, menggunakan sarana transportasi umum bisa lebih mahal bila menggunakan kendaraan pribadi, apalagi jika transportasi publik kurang memadai di daerah tersebut.

Kendaraan umum dipilih para pejalan untuk mencapai tujuannya, bukan hanya pertimbangan faktor biaya. Faktor interaksi dengan penduduk lokal, melihat dan merasakan secara langsung kehidupan penduduk, hingga bila memungkinkan berbincang-bincang menggunakan bahasa lokal serta memahami budaya mereka, menjadi unsur lain dari backpacking yang tidak bisa ditemukan bila menggunakan kendaraan pribadi.

Bertanya kepada penduduk cara mencapai suatu tempat, hingga menginap di rumah-rumah penduduk, kerap kali dilakukan para backpacker untuk merasakan dan memahami kehidupan setempat.

Hostel-hostel yang memudahkan interaksi antar pejalan yang menginap juga menjadi cara mereka untuk mengenal wilayah. Bertemu dan bertukar informasi dari sesama pejalan yang berasal dari berbagai tempat dan latar belakang budaya, tentu menjadi pengalaman tersendiri.

Para backpacker tidak hanya mendatang tempat-tempat wisata umum, mereka juga mencoba mengetahui lebih banyak daripada wisatawan biasa yang biasanya cuma setor foto dan cerita-cerita menyenangkan. Backpacker mencoba untuk lebih dalam mengetahui berbagai hal tentang suatu tempat, sehingga selain untuk bersenang-senang, mereka juga belajar.

Backpacker bukan hanya memuja-muja biaya rendah, nggak harus ngirit sengirit-ngiritnya. Ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan, yaitu waktu. Ya, waktu memang sering kali bertolak belakang dengan biaya.

Bepergian dengan biaya rendah biasanya memakan waktu yang lama, begitu juga sebaliknya, menggunakan transportasi yang “mahal” bisa menghemat banyak waktu. Menggunakan kereta api berbiaya murah tentu memakan waktu lebih lama daripada menggunakan pesawat berbiaya lebih mahal, bukan?

Sialnya lagi, kalo budget dan waktu mepet. Sial benar backpacker macam beginian. Hahaha.

Begitu juga ketika menentukan akomodasi. Penginapan dengan lokasi strategis yang dapat menghemat banyak waktu tentu juga lebih mahal daripada penginapan yang terletak di kawasan pinggiran. Tentu saja terlepas dari pelayanannya.

Perhitungan dan kecermatan dalam menghitung ini adalah faktor yang harus dimiliki backpacker. Ndak hanya uang, barang-barang yang perlu dibawa ketika bepergian tentu juga perlu dipikirkan. Backpacker cenderung membawa sedikit barang karena demi mengurangi beban. Semua barang kan dibawa dengan tas punggung, yang tujuannya memudahkan mobilitas, sehingga harus dihitung benar barang-barang apa saja yang bisa masuk ke tas punggung dan seberapa kuat dia membawanya.

Dulu, backpacker jarang membawa benda-benda berharga yang sekiranya tidak perlu. Laptop, telepon seluler, dan sebagainya ditinggal di rumah karena faktor efisiensi tempat dan keamanan. Sekarang banyak juga backpacker yang membawa gadget-gadget pendukung yang tentunya memudahkan mereka bepergian, semacam telepon genggam, kamera, hingga GPS.

Backpacker yang baik tentu bisa menguasai medan. Punya kemampuan membaca peta dan menentukan arah mata angin, akan sangat berguna apalagi ketika tersesat. Menguasai berbagai macam bahasa tentu akan sangat membantu lagi. Ini prinsip kemandirian yang dipegang.

Menjadi backpacker memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Keterbatasan dana membuat mereka harus memutar akal supaya bisa mencapai tujuan sesuai dengan kemampuan. Ini tentu beda dengan layaknya wisatawan yang memang datang ke suatu tempat untuk bersenang-senang dan rekreasi.

Apapun pilihan kita ketika bepergian, dengan ala backpacker atau wisatawan, selama kita nyaman dan menikmati perjalanan kita, sumangga saja. Yang penting senang dan ndak merusak tempat-tempat tujuan tersebut.

Ngomong-ngomong, saya bukan, eh belum, menjadi seorang backpacker. Masih wannabe. Kalo ada tawaran menjadi wisatawan, apalagi dibayari, saya memilih cara wisatawan aja deh! Hehehe… Anyway, Yang paling utama adalah ketika kaki kita menjejak tanah di daerah tujuan, lupakan segala kekhawatiran. Nikmati saja pengalaman lahir dan batin, kejadian apa pun yang kita alami. Mulai dari tersesat di bandara sampai sok gaya di Kuala Lumpur sambil nongkrong dan dikira TKI. Sekian dan terima gaji! :D hahaha

0 komentar: